Pemeriksaan Pajak : Pentingnya Quality Assurance Sebagai Hak Wajib Pajak

Segala hal terkait sengketa pajak tentunya sangat menarik untuk dibahas. Ini dikarenakan, sengketa pajak merupakan tahap akhir wajib pajak dalam memperjuangkan haknya. Sengketa pajak memiliki beberapa tahapan, dari Quality Assurance (QA), keberatan, banding, gugatan, hingga tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA).
Sengketa pajak biasanya berawal dari adanya pemeriksaan pajak yang dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan Account Representative (AR) dalam memperoleh data dan keterangan. Akan tetapi, pemeriksaan ini dianggap sebagai konsekuensi dalam sistem perpajakan kita yang menganut self assessment system baik dalam rangka menguji kepatuhan atau untuk tujuan lain. Pemeriksaan pajak inilah yang seringkali menjadi titik awal sengketa pajak, karena wajib pajak menganggap Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) yang dikeluarkan oleh DJP tidak sesuai, hingga akhirnya diteruskan ke Quality Assurance (QA). Apabila dirasa belum mendapatkan keadilan, maka dapat diteruskan ke tahap banding atau bahkan gugat saat STP diterima.
Dalam proses pemeriksaan, Wajib Pajak memiliki hak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance (QA). Hak ini merupakan opsi yang bisa digunakan apabila terdapat hasil pemeriksaan yang belum disepakati wajib pajak dengan pemeriksa dan wajib pajak ingin menyanggah hasil pemeriksaan sebelum proses pemeriksaan selesai atau sebelum surat ketetapan pajak (SKP) diterbitkan. Lalu, apa itu Tim QA? Apa urgensi Wajib Pajak mengajukan Tim QA? Dan, apa saja yang dibahas Wajib Pajak dengan Tim QA? Berikut penjelasannya.
Pengertian Tim Quality Assurance dalam proses pemeriksaan tercantum dalam Pasal 1 angka 17 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan yang diubah dalam PMK Nomor 18/PMK.03/2021. Beleid ini mendefinisikan Tim QA sebagai tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dalam rangka membahas hasil pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan untuk menghasilkan pemeriksaan yang berkualitas. Tim QA dibentuk Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) atas nama Dirjen Pajak berdasarkan Pasal 48 PMK 17/PMK.03/2013. Tim ini terdiri atas 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 3 orang anggota.
Merujuk pada PMK Nomor 17 Tahun 2013, Tim QA Pemeriksaan memiliki tiga tugas utama. Pertama, membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Kedua, memberikan kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak. Ketiga, membuat risalah yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan yang bersifat mengikat. Artinya, pemeriksa pajak harus mengikuti kesimpulan dan keputusan yang dibuat oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
Pengajuan Tim QA ini berawal dari temuan koreksi tanpa dasar hukum atau adanya kesalahan penerapan dasar hukum yang tidak relevan oleh Pemeriksa. Tentunya, ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian bagi Wajib Pajak. Dalam hal in dapat disimpulkan bahwa pengajuan permohonan pembahasan dengan Tim QA ini terjadi ketika Wajib Pajak tidak setuju dengan hasil koreksi tanpa dasar hukum ataupun penerapan dasar hukum koreksi yang tidak relevan tersebut. Melalui pembahasan, Wajib Pajak dapat menyanggah hasil pemeriksaan sebelum proses pemeriksaan selesai (sebelum Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan ditandatangani) atau sebelum SKP dan/atau STP diterbitkan.
Permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat dilakukan apabila terpenuhi beberapa kondisi. Pertama, Risalah Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sudah ditandatangani para pihak (tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak). Kedua, Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan belum ditandatangani para pihak. Ketiga, terdapat perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi pada saat pembahasan akhir pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pembahasan dengan Tim QA kepada Kepala Kantor Wilayah DJP paling lambat 3 hari setelah risalah pembahasan ditandatangani. Apabila pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Kantor Pusat DJP, maka surat permohonan dikirimkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Berdasarkan surat permohonan wajib pajak, Tim QA harus menyampaikan surat undangan kepada wajib pajak dan pemeriksa baik melalui faksimile atau secara langsung untuk melakukan pembahasan hasil pemeriksaan yang belum disepakati. Apabila wajib pajak tidak hadir dalam pembahasan dengan Tim QA sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan, maka pembahasan dengan Tim QA dianggap telah dilakukan. Hasil dari pembahasan ini harus dituangkan dalam risalah tim QA pemeriksaan. Dalam hal wajib pajak hadir dalam pembahasan tetapi menolak untuk menandatangani risalah, maka tim QA akan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam risalahnya.
Berdasarkan uraian di atas, pembahasan dengan Tim QA ini sangat penting dilakukan sebagai penekanan bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan koreksi tanpa dasar hukum atau penerapan dasar hukum yang tidak relevan dan diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya sengketa pajak. Apabila hasil pembahasan dengan Tim Quality Assurance masih tidak sesuai dengan harapan wajib pajak dan dilanjutkan dengan penerbitan SKP (Surat Ketetapan Pajak) dan STP (Surat Tagihan Pajak), maka wajib pajak dapat memperjuangkannya di proses Keberatan. Jika nantinya Wajib Pajak menempuh upaya Keberatan dan dilanjut ke Banding, maka fakta bahwa Wajib Pajak telah melakukan pembahasan dengan Tim QA akan membuktikan konsistensi keberatan Wajib Pajak sejak proses pemeriksaan.