Grey Area Peraturan Perpajakan Sebagai Dasar Penyebab Sengketa Pajak
Sengketa pajak dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan "sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa". Artikel ini akan membahas mengenai sengketa pajak sebagai akibat dari aturan yang masih dalam grey area serta rekomendasi upaya pencegahannya.
Berdasarkan UU KUP, sengketa pajak didasari pada ketidaksetujuan wajib pajak atas prosedur penerbitan serta jumlah pajak terutang terkait materi dari surat ketetapan pajak. Selain sengketa materi, terdapat sengketa yuridis dari peraturan pajak yang tidak rigid dan belum disajikan secara detail. Hal ini yang kemudian disebut sebagai grey area dalam peraturan perpajakan, karena berpotensi menimbulkan multitafsir serta ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara wajib pajak dengan petugas pajak.
Perbedaan penafsiran ini timbul saat proses pemeriksaan oleh fiskus pajak dan jika tidak ditemukan kesepakatan, maka permasalahan akan diselesaikan melalui pengadilan pajak. Wajib pajak akan berangkat ke pengadilan begitu juga dengan perwakilan dari kantor pajak, sehingga antara wajib pajak dengan kantor pajak saling mempertahankan dan kemudian menjelaskan tafsirannya masing-masing dengan dasar hukum yang ada. Fatwa berada pada hakim atau hakim yang menentukan tafsiran siapa yang benar. Contoh kasus sengketa yuridis yang banyak terjadi adalah berupa permasalahan tafsir peraturan antara wajib pajak dengan pihak perbankan sehubungan dengan penentuan cadangan kerugian kredit atau piutang. Kemudian terdapat juga contoh sengketa besar yang melibatkan PT Perusahaan Gas Negara dengan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dengan nilai sebesar Rp3,06 Triliun. Sengketa ini dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas peraturan PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN terkait penyerahan gas bumi, serta perbedaan pemahaman mekanisme penagihan Perseroan.
Grey area dalam peraturan perpajakan ini timbul sebagai akibat dari usaha penyesuaian, pemahaman serta sosialisasi untuk mendukung banyaknya perubahan kebijakan pajak yang terjadi secara domestik maupun internasional. Tidak bisa dipungkiri walaupun peraturan perpajakan di Indonesia telah disusun dengan penuh kehati-hatian agar jelas, mudah dipahami dan konsisten, namun dalam kenyataannya perubahan peraturan ini akan terus terjadi sesuai dengan pernyataan dari kementerian keuangan bahwa kebijakan fiskal selalu merespons kondisi terbaru dari perekonomian negara dan global dengan tujuan untuk meningkatkan tax ratio, mendukung investasi dan sebagai pendukung keperluan Indonesia dalam menanggapi isu-isu global.
Upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah sengketa yuridis antara lain perumusan produk hukum yang berkualitas, Compliance Risk Management (CRM) termasuk sumber daya fiskus pajak maupun masyarakat, penegasan dalam advance ruling serta pemanfaatan teknologi informasi.
Perumusan produk hukum harus berkualitas sehingga memuat unsur kepastian, kejelasan dan dipresentasikan secara detil sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Penyusunan peraturan harus mempertimbangkan seluruh pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Telah disinggung sebelumnya bahwa peraturan perpajakan akan terus berubah sesuai dengan kondisi perekonomian, oleh karena itu analisa diperlukan terhadap peraturan yang masih berada dalam grey area, sehingga perubahan harus mengutamakan atau berfokus pada muatan materi yang ada didalam peraturan tersebut.
Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan tingkat risiko serta penentuan strategi pencegahan terkait kepatuhan pajak, karena dengan berkurangnya ketidakpatuhan, maka jumlah sengketa juga akan menurun. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan kemampuan sumber daya aparat DJP, sehingga mampu menerbitkan produk hukum dan menerjemahkan peraturan perpajakan dengan sebenar-benarnya. Masyarakat juga harus terus diedukasi dengan pengadaan penyuluhan dari pihak DJP agar mereka semakin paham, sehingga sengketa pajak dapat dihindari.
Menurut OECD, advance ruling khususnya private ruling dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan melakukan permintaan secara spesifik kepada otoritas pajak terkait penegasan berupa konfirmasi tertulis yang berisi klarifikasi tentang bagaimana hukum pajak akan diterapkan sehubungan dengan transaksi tertentu yang akan dilakukan. Advance ruling menjadi penting jika transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang rumit dan/atau memiliki risiko tinggi, karena berperan sebagi early certainty dan additional support bagi wajib pajak.
Pemanfaatan teknologi informasi seharusnya tidak hanya berfokus pada tujuan penerimaan pajak, tetapi juga mendukung proses administrasi agar lebih sederhana dan menuju peningkatan kualitas pelayanan wajib pajak. Teknologi informasi juga bermanfaat untuk pencegahan sekaligus penyelesaian sengketa pajak dengan memanfaatkan AI (Artificial Intelligence), contohnya fitur early system warning. Fitur ini dapat mempresentasikan adanya anomali dari inkonsistensi putusan pengadilan kasus sengketa pajak yang mirip, oleh karena itu potensi hidden action dari wajib pajak seperti korupsi, kolusi maupun penyuapan dapat dideteksi lebih awal.
Dapat disimpulkan bahwa kemampuan otoritas pajak serta masyarakat dituntut untuk dapat menerjemahkan peraturan perpajakan dengan sebenar-benarnya, oleh karena itu peraturan sebagai dasar hukum perpajakan harus jelas dan detil agar mencegah perbedaan pendapat serta multitafsir antara wajib pajak dengan otoritas pajak yang akan berakhir pada sengketa yuridis. Sengketa ini memberikan dampak buruk bagi sistem peradilan di Indonesia karena menimbulkan ketidakpastian hukum yang berpotensi melemahkan supremasi hukum negara.