KETERANGAN TERTULIS TERKAIT PENYESUAIAN TARIF PPN 1%
.png)
Berita terkait naiknya PPN ramai dibicarakan oleh netizen dan banyak orang, naiknya PPN dari 11% menjadi 12% menimbulkan penolakan yang cukup banyak dari orang-orang. Tarif PPN itu sendiri memang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mana tarif PPN akan naik menjadi 12% paling lambat berlaku tanggal 1 Januari 2025. Jelang bergantinya tahun menuju 2025, wacana ini kembali naik dan ramai dibicarakan. Meskipun tak sedikit adanya penolakan dari banyak orang, pemerintah tetap akan menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Adapun tujuan naiknya tarif PPN menjadi 12% untuk meningkatkan penerimaan negara dari lingkup perpajakan. Penerimaan negara dari pajak merupakan yang terbesar dibandingkan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan lainnya, yakni mencapai sekitar 80% dari penerimaan negara. Di balik plan agar naiknya penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN, timbul kekhawatiran kenaikan ini berdampak besar pada harga barang-barang yang ada di pasaran. Pemerintah melalui Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 16 Desember 2024 yang lalu mengumumkan telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok masyarakat tidak atau kurang mampu. Pemerintah juga menegaskan bahwasanya barang-barang kebutuhan pokok dan jasa-jasa pokok tertentu tetap mendapatkan pengecualian, sehingga hal ini tidak akan berdampak signifikan terhadap masyarakat. Pemerintah juga mengedarkan Keterangan Tertulis Nomor KT-03/2024 terkait Penyesuaian Tarif PPN 1%, berikut keterangan lebih lengkapnya.
Keterangan Tertulis
Terkait
Penyesuaian Tarif
PPN 1%
21 Desember 2024
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait dengan implementasi penyesuaian tarif PPN 1% dari 11% menjadi 12%, dengan ini disampaikan hal sebagai berikut:
-
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
-
Barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. Barang dan jasa tersebut seperti:
- Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran
- Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum
- Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.
-
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri. Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.
-
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini:
Jadi, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen. -
Menjawab pertanyaan mengenai PPN atas uang elektronik dan dompet digital (e- wallet) dengan ini disampaikan bahwa jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru. Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut:
- Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1.000.000. Biaya top up misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut: 11% x Rp1.500 = Rp165. Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut: 12% x Rp1.500 = Rp180. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15.
- Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp500.000. Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut: 11% x Rp1.500 = Rp165. Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut: 12% x Rp1.500 = Rp180. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15 Artinya, berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama.
-
Perlu kami sampaikan bahwa transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru.Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut: Pada Desember 2024, Pablo membeli TV seharga Rp5.000.000. Atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp550.000, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh Pablo adalah sebesar Rp5.550.000. Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Pablo tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya. Artinya, jasa sistem pembayaran melalui QRIS bukan merupakan objek pajak baru.
- Biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, Youtube Premium, dan sebagainya merupakan objek pajak PPN PMSE sebagaimana diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru.
- Atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan PMK 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu. Artinya, atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher bukan merupakan objek pajak baru.
- Atas transaksi penjualan tiket konser musik dan sejenisnya, bukan merupakan objek PPN tetapi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diadministrasikan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
- Atas transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, terutang PPN. Artinya, transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri bukan merupakan objek PPN baru.
- Berdasarkan hitungan Pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%. Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.
- Melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat. Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. Di tahun 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19. Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.
-
Sebagaimana telah diumumkan dalam Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 16 Desember 2024, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok masyarakat tidak atau kurang mampu, meliputi:
-
Dukungan untuk Rumah Tangga dan Individu (PMK)
- Pemerintah akan menyalurkan bantuan pangan berupa beras bagi 16 juta keluarga penerima manfaat. Setiap keluarga akan menerima 10 kg beras per bulan selama dua bulan, yaitu Januari dan Februari 2025.
- PPN DTP 1% untuk tepung terigu, gula industri, dan minyak Kita selama 1 tahun.
- Diskon 50% untuk tagihan listrik diberikan kepada pelanggan dengan daya 2200VA atau lebih rendah selama dua bulan pertama di tahun 2025.
- Diskon PPN DTP bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar atas Rp2 miliar pertama (diskon 100% untuk bulan Januari-Juni 2025, dan 50% untuk bulan Juli-Desember 2025)
-
Dukungan untuk pekerja
- Perbaikan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK.
-
Stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (perubahan PP 55 Tahun 2022)
- Masa berlaku bagi WP OP UMKM yang telah menggunakan tarif PPh Final 0,5% selama 7 tahun dan berakhir pada tahun 2024, diperpanjang untuk tahun 2025.
- Bagi WP OP UMKM lainnya tetap dapat menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai PP 55/2022.
- UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban membayar PPh.
-
Dukungan untuk Sektor Industri dan Padat Karya (PMK)
- Pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan akan mendapat insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).
- Bantuan 50% untuk Jaminan Kecelakaan Kerja sektor padat karya selama 6 (enam) bulan yang dibayar oleh BPJSTK.
- Subsidi bunga 5% untuk pinjaman oleh perusahaan tekstil untuk revitalisasi mesin.
-
Stimulus untuk Sektor Perumahan (PMK PPN DTP)
- Pemerintah memberikan diskon PPN DTP untuk pembelian rumah sebagai sektor dengan multiplier tinggi dengan harga jual hingga Rp5 miliar untuk Rp2 miliar pertama, dengan skema diskon 100% pada periode Januari – Juni 2025 dan diskon 50% pada periode Juli – Desember 2025.
-
Insentif untuk Sektor Otomotif (PMK PPN DTP)
- Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) mendapat berbagai insentif, termasuk PPN DTP 10% untuk KBLBB, PPnBM DTP 15% untuk KBLBB impor CBU dan CKD, serta bea masuk 0% untuk KBLBB CBU.
- Kendaraan bermotor hybrid diberikan insentif berupa PPnBM DTP sebesar 3%.
-
Dukungan untuk Rumah Tangga dan Individu (PMK)
- Pendidikan sebesar Rp722,6 triliun antara lain untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan (PIP, KIP Kuliah, BOS, BOP Paud, dan beasiswa LPDP), makan bergizi anak sekolah.
- Perlindungan sosial sebesar Rp504,7 triliun antara lain PKH, Kartu Sembako, PIP, dan KIP Kuliah.
- Kesehatan sebesar Rp197,8 triliun antara lain percepatan penurunan stunting dan penurunan kasus TBC, pemeriksaan kesehatan gratis, dan program JKN.
- Ketahanan pangan sebesar Rp124,4 triliun antara lain ekstensifikasi lahan pertanian beserta sarana dan prasarananya, lumbung pangan dan akses pembiayaan petani, serta penguatan cadangan pangan nasional. Total paket insentif ekonomi di atas sebesar Rp1.549,5 triliun (51,56% dari total penerimaan APBN 2025).
- Kementerian Keuangan akan membahas kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu.
- Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait.
HADIAH POPULER UNTUK KARYAWAN
Biasanya perusahaan punya berbagai pilihan hadiah untuk pegawai mereka. Berikut beberapa bentuk yang sering diberikan :
-
Voucher Belanja/Gift Card
Ini salah satu hadiah favorit karena pegawai bisa pilih sendiri barang yang diinginkan.
-
Bonus Uang
Bonus uang tunai sering diberikan sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian kerja atau target.
-
Gadget atau Barang Elektronik
Misalnya, smartphone, tablet, atau laptop, cocok buat hadiah di acara penghargaan pegawai.
-
Barang Eksklusif Kantor
Tas kerja, agenda keren, atau alat tulis premium juga sering dijadikan hadiah.
-
Paket Liburan
Ada juga perusahaan yang memberi paket liburan atau voucher hotel sebagai apresiasi.
-
Pengalaman atau Pelatihan
Beberapa perusahaan kasih kesempatan ikut kelas, workshop, atau pelatihan.
ATAS KEIKUTSERTAAN PEGAWAI DALAM LOMBA MAKA DALAM PAJAK TERMASUK PESERTA KEGIATAN
Nah peserta kegiatan dalam pajak definisinya merupakan orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, selain yang diterima Pegawai Tetap dari pemberi kerja.
Atas penggunaan tarifnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi, maka dikenakan PPh Pasal 21 tidak final dengan formula perhitungan sebagai berikut :
[Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17]
Namun sering kali terjadi kebingungan bagi Wajib Pajak dalam menentukan Objek Pajak atas Hadiah. Dalam pengenaan pajak atas hadiah selain yang tercantum dalam PPh (4) ayat 2, maka dapat dikenakan PPh 21 tidak final dengan kode objek pajak 21-100-13 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima hadiah dengan menentukan apakah hadiah yang didapat apakah dengan undian atau bukan.
Contoh Perhitungan Pajak Hadiah
-
Contoh perhitungan Pajak Hadiah Undian
Misalnya, Tuan Widodo menang hadiah undian Rp 150 juta dari PT XYZ. Maka, Tuan Widodo dikenakan pajak undian dengan perhitungan seperti ini:
= Tarif PPh 4 ayat (2) x Total hadiah undian
= 25% x Rp 150 Juta
= Rp 37,5 Juta
Maka jumlah hadiah yang diterima Tuan widodo adalah
= Total hadiah - jumlah pemotongan PPh 4 ayat 2
= Rp 150 Juta - 37,5 Juta
= Rp 112,5 Juta -
Contoh perhitungan pajak atas Hadiah Perlombaan
Dalam perlombaan Badminton yang diadakan oleh PT X. Karyawan A memenangkan perlombaan dan diberi hadiah sebesar Rp 65.000.000,- Atas perlombaan tersebut maka karyawan A dikenakan PPh pasal 21 tidak final dengan tarif sesuai pasal 17 yang dipotong oleh PT. X. Dengan rincian sebagai berikut:
- Penghasilan sampai dengan Rp. 60 Juta dikenakan tarif progresif pasal 17 sebesar 5%
- Penghasilan diatas Rp. 60 Juta - 250 Juta dikenakan tarif progresif pasal 17 sebesar 15%
Maka perhitungannya sebagai berikut:
= Tarif PPh 17 atas hadiah x total hadiah
= 5% x Rp 60 Juta = Rp 3 Juta
= 15% x Rp 5 Juta = Rp 750 Ribu
= Rp 3 Juta + Rp 750 Ribu
= Rp 3,75 Juta
Maka besar hadiah neto yang akan diterima karyawan A adalah
= Jumlah hadiah - pajak
= Rp 65 Juta - 3,75 Juta
= Rp 61,25 Juta